TIMES BENGKALIS, JAKARTA – Bekerja tanpa digaji, bahkan membayar untuk bekerja, terdengar tak masuk akal. Namun, di China, sejumlah anak muda menganggur justru rela membayar perusahaan agar bisa “pura-pura bekerja”.
Fenomena ini muncul di tengah lesunya ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan, dengan tingkat pengangguran pemuda mencapai lebih dari 14 persen. Bagi sebagian anak muda, membayar untuk masuk kantor lebih baik daripada hanya berdiam diri di rumah.
Shui Zhou (30) adalah salah satunya. Usaha kulinernya bangkrut pada 2024. Sejak April 2025, ia membayar 30 yuan (sekitar Rp65.000) per hari untuk bekerja di kantor sewaan milik Pretend To Work Company di Dongguan, dekat Hong Kong. Di sana, ia “bekerja” bersama lima orang lain yang bernasib sama.
“Saya senang sekali, rasanya seperti punya rekan kerja lagi,” ujar Zhou seperti dikutip dari BBC, Senin (11/8/2025).
Konsep ini kini menjamur di kota-kota besar seperti Shenzhen, Shanghai, Nanjing, Wuhan, Chengdu, dan Kunming. Kantornya lengkap dengan komputer, internet, ruang rapat, dan pantry.
Peserta bisa mencari lowongan, mengerjakan proyek pribadi, atau sekadar bersosialisasi. Biaya harian 30–50 yuan biasanya sudah termasuk makan siang dan camilan.
Menurut Dr. Christian Yao, pakar ekonomi China dari Victoria University of Wellington, fenomena ini menjadi “solusi transisi” bagi anak muda yang sedang mencari arah hidup atau pekerjaan sambilan.
Bagi Zhou, suasana kantor membuatnya lebih disiplin dan merasa lebih tenang. Ia datang pukul 8–9 pagi dan kadang pulang hingga larut malam. Hubungan dengan sesama “rekan kerja” pun dekat—mereka makan malam bersama dan saling mendukung.
Kisah serupa datang dari Xiaowen Tang (23) di Shanghai. Lulusan universitas ini menyewa meja kerja selama sebulan untuk memenuhi syarat kelulusan, yakni menyerahkan bukti magang atau kontrak kerja. Nyatanya, ia membayar untuk duduk di kantor sambil menulis novel daring demi uang saku.
“Kalau mau pura-pura, ya sekalian saja sampai tuntas,” ujarnya.
Pemilik Pretend To Work Company di Dongguan, Feiyu (30), menyebut dirinya menjual “harga diri” bagi orang yang merasa tak berguna.
Mantan pengusaha ritel ini paham betul rasanya menganggur setelah usahanya gulung tikar saat pandemi. Kini, 40% pelanggannya adalah lulusan baru yang butuh bukti magang untuk kampus, sementara sisanya freelancer dan penulis daring.
Feiyu menganggap bisnisnya sebagai eksperimen sosial.
“Ini memang kebohongan demi menjaga harga diri. Tapi kalau bisa mengubah pura-pura kerja jadi titik awal karier nyata, barulah eksperimen ini berarti,” katanya.
Zhou kini fokus belajar keterampilan kecerdasan buatan (AI), berharap kemampuannya bisa mempermudah jalan menuju pekerjaan tetap. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Fenomena ‘Pura-Pura Bekerja’ Jadi Tren di Kalangan Anak Muda China
Pewarta | : Wahyu Nurdiyanto |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |